Minggu, 05 Agustus 2018

Rumah Tak Berjendela

Rumah tak berjendela
Oleh : Zelig Ilham Hamka

Rumahku tak berjendela tepat berada dibelakang bangunan megah berpagar besi putih ditengah riuh pikuk perkotaan yang penuh dengan aroma kemunafikan. Gelegar bunyi pabrik baja dekat rumahku yang seakan tak mengenal letih selalu terdengar dari pagi hingga menjelang terbenamnya sinaran mentari. Suara keramaian kian bising ditelinga kecilku semuanya samar namun lebih terdengar seperti gema permusahan, gedebuk suara sepatu kulit yang berjalan sedikit cepat menandakan kesibukan tanpa persaudaraan. Sementara udaramu terkadang begitu bau untuk dihirup entah darimana anginku membawa aroma jahat itu, benar saja ketika kulihat sedikit dari ketinggian ada puluhan cerobong asap raksasa mengeluarkan asap hitam pekat di sudut-sudut kotamu. Tidak kalah menariknya ketika kulihat indahnya susunan sampah bertumpukan ditengah aliran air tenang warna kecokelatan yang selalu kau suguhkan layaknya tempat bertamasya untuk penghuni rumah pinggiran sepertiku.

Rumahku masih tak berjendela ditengah gemerlap metropolitan tempatku gelap tak bersuara, seperti kutukan Pareto ada sisi yang menangis diantara bising bunyi persaingan mencari makan, dari mengumpulkan sampah buangan untuk dapat bertahan hingga menginjak harga diri mengemis demi sesuap nasi. Seperti sebuah tragedi tersembunyi yang seringkali tak diakui oleh mereka yang berjaz rapi sampai memaknai hidup layaknya komedi.

Rumahku tetap tak berjendela dan tak mampu kuberi jendela, ironi sekali kotamu yang awalnya kau bilang bersih indah dan mewah ternyata tak berhati. Saling caci, saling berselisih hingga kelicikan kau anggap hal lumrah dalam perebutan ambisi pribadi. Arogan sekali kotamu dengan begitu sombong berdalih menawarkan kemewahan lalu pergi sembunyi diantara gedung-gedung tinggi. Tiada senyuman seakan tak bertuhan hanya ada kepalsuan demi kepuasan. Tega sekali penipu bertopeng ilmu pengetahuan memakan korban "yang katanya" demi kemajuan..

2 komentar: